al-Ibar.net – Dalam memahami ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya sulit dicerna), ulama terbagi menjadi dua kelompok: tafwid dan ta’wil. Imam Ahmad (W. 241 H) sendiri mengartikan tafwid sebagai langkah mengimani, membenarkan dan tidak mempertanyakan tatacara dan maknanya. Hal ini tentu saja berbeda dengan ta’wil yang masih banyak melakukan spekulasi nalar dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabihat.
Meski kedua cara di atas mendapatkan legalitas dari agama sebagaimana yang akan kami paparkan di bawah ini, namun sebagian besar ulama, terutama ulama salaf, memilih untuk melakukan tafwid, yakni menyerahkan makna ayat mutasyabihat pada Allah SWT.
Oleh karena itu, ketika Imam Malik (W. 174 H) ditanya tentang istiwa’ (berdiamnya) Allah SWT, beliau menjawab bahwa istiwa’ (secara zahir) jelas maknanya, tidak diketahui kaif nya (tatacaranya), wajib mengimaninya dan bidah orang-orang yang menanyakannya.
Sedangkan untuk takwil , Imam al-Ghazali (W. 505 H) menjelaskan dalam Iljamul-‘Awam bahwa ia memiliki makna “Memindah lafaz pada makna lain untuk menghindari gagal paham pada makna zahirnya”. Metode takwil inilah yang akan kita bahas kali ini, karena metode ini banyak mendapat serangan dari orang-orang Wahabi.
Salah satu alasan mengapa kita butuh takwil, karena al-Quran tidak bisa dicerna hanya dengan zahir lafaz saja. Misalnya dalam ayat di bawah ini:
فَذُوْقُوْا بِمَا نَسِيْتُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا اِنَّا نَسِيْنٰكُمْ وَذُوْقُوْا عَذَابَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Maka rasakanlah azab ini sebab kalian telah melupakan pertemuan di hari kiamat. Sesungguhnya Akupun (Allah SWT) juga melupakan kalian. Rasakanlah azab yang kekal atas apa yang kalian kerjakan.” (QS. as-Sajadah [32]: 14)
Secara zahir lafaz, ayat tersebut diterjemah sebagaimana terjemahan ayat di atas. Namun jika demikian, maka akan menetapkan sifat lupa bagi Allah SWT. Apakah layak Allah SWT memiliki sifat lupa?
Imam ar-Razi (W. 313 H) dalam tafsirnya menakwil makna lafaz nasinakum dengan “meninggalkan kalian”. Maksudnya, Allah SWT meninggalkan kalian di neraka selama-lamanya, bukan melupakan sebagaimana zahir lafaz.
Selain untuk menghindari gagal paham dalam memaknai ayat-ayat mutasyabihah, pelaksanaan takwil para ulama juga tidak ngasal melakukan takwil pada ayat-ayat mutasyabihat. Imam Ibnu Daqiq al-Id dalam kitab Taqrir al-Ta’wil wa-Tafwidh mengatakan, “Perlu peninjauan dalam menakwil ayat mutasyabihat. Bila takwilannya mendekati pada lisan orang-orang Arab maka tidak perlu diinkari. Namun bila jauh dari lisan Arab, hendaknya meyakini akan kebenarannya dengan tetap menyucikan Allah SWT (memilih tafwid).”
Beberapa contoh dari penakwilan pada ayat-ayat mutasyabihat ini di antaranya adalah lafaz yad (tangan) dalam Surah al-Fath ayat ke sepuluh. Dalam ayat itu, yad memiliki makna kekuasaan sebagaimana penuturan Imam ar-Razi dalam Tafsir ar-Razi.
Lafaz yad dengan makna kekuasaan ini sudah sering dipakai oleh orang-orang Arab, seperti yang dicontohkan oleh Imam al-Ghazali pada lafaz ‘اَلْبَلْدَةُ فِيْ يَدِ اْلأَمِيْر.
“Negara berada dalam kekuasaan pemipin.”
Dilirik dari susunan kosa katanya, sangat jelas bahwa lafaz yad di atas bermakna kekuasaan, bukan tangan. Andaikata yad di sini dimaknai tangan sebagaiman makna zahir (makna asli), maka silahkan Anda angan-angan sendiri. Apakah masih bisa dicerna maknanya?
Selain itu, legalitas takwil juga bisa dibuktikan dengan doa Nabi Muhamad SAW pada sahabat Ibnu Abbas. Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah SAW berdoa,
اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah SWT, pahamkanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah takwil (tafsir) kepadanya.” (HR. Ahmad)
Melihat hadis di atas, tak ayal jika Ibnu Abbas menjadi rujukan para sahabat ketika mereka tidak memahamai maksud al-Quran. Misal, ketika beliau ditanyakan tentang ayat yang berbunyi:
وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
Ibnu Abbas menakwili Aydin dengan kekuatan, bukan tangan. Sehingga, terjemahan ayat di atas sebagaimana takwil dari Ibnu Abbas adalah, “Ketika langit kami bangun dengan kekuatan, dan kami benar-benar meluaskannya.”
Selain Ibnu Abbas, banyak lagi ulama-ulama salaf yang menakwil ayat-ayat mutasyabihat. Dalam mukaddimah kitab Daf’u Syubah al-Asybih bi Akaffi al-Tanzih, Habib Hasan as-Segaf menyebut 16 ulama salaf yang menakwil ayat mutasyabihat. Di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, Imam Ibnu Hibban dan Imam Sufyan ats-Tsauri.
Semua pemaparan di atas kiranya cukup untuk menjelaskan tentang legalitas takwil. Sebagai tambahan, Imam al-Laqqâni dalam nazam Jauharatut-Tauhid berujar:
وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا * أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
“Setiap nas yang mendekati tasybih, maka takwillah atau serahkan maknanya pada Allah SWT seraya tetap menyucikan-Nya.”