al-Ibar.net – Bidah merupakan salah satu pembahasan yang tidak pernah usai di tengah kaum muslimin. Bidah selalu hangat dibicarakan dan selalu mengundang perdebatan, baik di dunia maya atau dunia nyata. Satu kelompok memvonis suatu amalan bidah, kelompok yang lain mengatakan tidak. Bahkan kadang dalam satu barisan pemahaman pun, bisa berbeda pendapat dalam memvonis bidah sebuah amalan.
Perbuatan bidah, memang sangat dilarang oleh Rasulullah saw. Umat Islam pun sepakat untuk menjauhinya. Mereka hanya berbeda pandangan dalam memvonis sebuah amalan itu bidah yang dilarang atau bukan. Adapun hadis yang melarang bidah adalah sebagaimana berikut:
وشر الأمور مُحْدَثَاتُهَا وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
“… Seburuk-burunya perkara adalah perkara baru. Setiap perkara baru adalah bidah, setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka …” (HR. Imam Muslim, Imam Ahmad, dll.)
Jika dipahami sekilas, maka hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa semua yang baru dalam agama adalah bidah dan semua yang bidah adalah sesat. Namun, ketika dipahami dengan cermat dengan membaca dalil-dalil lain, maka pemahaman demikian tidak tepat. Karena ternyata, para sahabat Nabi juga melakukan sesuatu yang baru dalam agama.
Oleh karenanya, Imam Syafi’i, salah satu ulama salaf dan Imam Mazhab berpendapat bahwa tidak semua bidah itu sesat. Beliau membagi bidah menjadi dua. Pertama, bidah sayyiah atau bidah yang buruk. Kedua, bidah hasanah atau bidah yang baik.
Bidah sayyiah atau bidah yang buruk adalah sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an, hadis, atsar (perkataan sahabat), atau ijma’ (kesepakatan) ulama. Dengan demikian, jika ada sesuatu yang baru dalam agama, tapi tidak bertentangan dengan al-Quran, Hadis, Atsar, dan Ijma’, maka bukan bidah yang buruk. Artinya boleh-boleh saja dilakukan.
Imam Syafi’i berkata sebagaimana ditulis Imam Nawawi dalam Tahdzib al-Asma mengutip riwayat Imam al-Baihaqi,
المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث مما يخالف كتابًا أو سنة أو أثرًا أو إجماعًا، فهذه البدعة الضلالة، والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من العلماء، وهذه محدثة غير مذمومة،
“Sesuatu yang baru ada dua. Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an, Sunah, Atsar, atau Ijma’. Inilah bidah dhalalah (bidah sesat/buruk). Kedua, sesuatu yang baru dari kebaikan (dan tidak menyalahi Al-Qur’an, Sunah, Atsar, atau Ijma’), maka tidak ada khilaf di antara ulama (atas kebolehannya). Bidah ini bukan bidah yang tercela.”
Ulama syafiiyah berikutnya, yaitu Imam Izzuddin bin Abdissalam lebih merincikan lagi pembagian bidah. Menurut beliau, bidah tidak hanya terbagi menjadi dua bagian, tetapi terbagi menjadi lima bagian sesuai pembagian hukum Islam. Pembagian ini beliau tulis lengkap dalam kitab beliau, Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam.
Pertama-tama, ulama yang dijuluki sebagai raja ulama di masanya ini menjelaskan tentang definisi bidah. Beliau menulis,
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Bidah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.”
Kemudian, Imam Ibnu Abdissalam membagi bidah menjadi lima yaitu, wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Sebuah amalan yang baru dan masuk dalam kaidah-kaidah hukum wajib, maka dihukum bidah wajib. Contohnya, belajar ilmu nahwu adalah bidah, karena tidak ada di zaman Rasulullah. Hukum belajar ilmu nahwu adalah wajib, karena kita tidak bisa memahami Al-Qur’an dan Hadis kecuali setelah memahami ilmu nahwu. Sedangkan memahami Al-Qur’an dan Hadis adalah wajib.
Lalu, jika ada sesuatu yang baru dan masuk dalam kaidah-kaidah hukum haram, maka sesuatu yang baru tersebut adalah bidah haram. Contohnya adalah paham sesat seperti Qadariyah, Muktazilah, Mujassimah, dan yang lainnya. paham-paham ini termasuk bidah karena tidak ada di zaman Rasulullah saw. Tentu paham ini termasuk bidah yang haram, karena paham Qadariyah, Muktazilah, dan Mujassimah adalah paham yang menyalahi paham Rasulullah saw.
Jika ada sesuatu yang baru dan termasuk dalam kaidah-kaidah sunah, maka sesuatu yang baru tersebut dihukumi sunah. Contohnya, salat Tarawih berjemaah di masjid, mendalami tasawuf, dan lain sebagainya.
Atau ada sesuatu yang baru dan termasuk dalam kaidah-kaidah mubah (boleh), maka dihukumi bidah yang boleh. Contohnya adalah salaman setiap selesai salat fardu. Salaman setiap selesai salat fardu adalah bidah, karena tidak ada di zaman Rasulullah. Namun, hukumnya boleh-boleh saja, karena termasuk dalam kaidah-kaidah hukum boleh.
Maka bisa kita pahami, dalam mazhab syafiiyah, sesuatu yang baru dalam agama tidak serta merta disebut sesat, tetapi dilihat dulu masuk dalam kaidah hukum yang mana. Sesuatu yang baru dalam agama bisa saja wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Karenanya, langsung tuduh bidah sebuah amaliyah yang baru, bukanlah tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah.