“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
***
Kalimat di atas adalah pesan Gusdur pada seseorang. Pesan tersebut memiliki makna yang sangat dalam. Tentu sangat relevan untuk dijadikan pegangan oleh siapapun. Tidak memandang agamanya apa, ormasnya apa, atau sukunya apa.
Perbuatan baik akan selalu dirindukan dan diharapkan. Apa lagi bagi mereka yang membutuhkan. Seperti sedang kelaparan, kebanjiran, dan terkena bencana alam.
Sebenarnya, dawuh Gusdur tidak memiliki konsekuensi hukum dalam Islam. Dengan artian, kalimat di atas tidak berada dalam dimensi agama. Tetapi, dalam dimensi kemanusiaan, kemasyarakatan, atau sosial. Karena yang menjadi penilai adalah manusia (orang), bukan Tuhan.
Oleh karenanya, saya tertarik untuk membahas dawuh Gusdur di atas dalam dimensi keagamaan. Yakni, penilainya adalah Allah. Tentu, dengan merujuk dan mengkaji firman-firman-Nya. Baik yang berupa Al-Quran atau pun hadis Rasulullah saw..
Sederhananya begini, bagaimana perlakuan Allah swt. terhadap orang yang baik, tapi dia tidak beriman kepada-Nya? Apakah perbuatan baik itu ada nilainya di sisi Allah? Apakah perbuatan baik itu ada menfaatnya kelak di akhirat?
Hal mendasar yang harus kita fahami adalah Allah Mahakuasa untuk segalanya. Allah Mahakuasa untuk menyiksa orang yang beriman. Allah juga Mahakuasa untuk memberi kenikmatan pada orang yang tidak beriman. Karena Allah adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak.
Tetapi, Allah sudah mengabarkan lewat utusan-Nya, orang yang akan masuk Surga adalah mereka yang beriman dan beramal saleh. Orang yang akan masuk neraka adalah mereka yang kafir atau durhaka kepada-Nya.
Allah swt. juga berfirman,
وَقَدِمْنَا إلى مَا عَمِلُواْ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُوراً
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ayat ini menegaskan, amal baik orang yang tidak beriman itu seperti debu yang berterbangan, tidak ada gunanya. Kelak di akhirat mereka tetap dimasukkan ke neraka. Sebagaimana kata Syaikh al-Maraghi ketika menafsiri ayat tersebut.
Karena syarat perbuatan baik bisa diterima itu harus dilandasi keimanan kepada Allah. Amal yang tidak memenuhi syarat, maka tidak ada artinya. Sama dengan amal baik yang dilakukan orang Islam, tapi tidak disertai keikhlasan.
Namun demikian, ketentuan di atas apa bila mati dalam keadaan kafir. Apa bila mati dalam keadaan muslim, maka perbuatan baiknya akan dibawa ke akhirat, walaupun saat melakukannya masih belum masuk Islam.
Dalam sebuah hadis, juga ada riwayat,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ قَالَ « لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى يَوْمَ الدِّينِ ».
“Sayidah Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, Ibnu Jud’an di masa Jahiliah bersilaturrahim dan memberi makan orang miskin, apakah hal itu akan memberinya menfaat?” Rasulullah menjawab, “Tidak, karena dia tidak mengatakan di sebuah hari, “Ya Tuhanku, ampunilah keselahanku di hari kiamat.”” (HR. Imam Muslim)
Imam Nawawi berpendapat, hadis di atas menunjukkan perbuatan baik orang kafir seperti silaturrahim tidak bermenfaat kelak di akhirat. Hal ini disebabkan dia kafir.
Cara Allah Membalas Kebaikan Non-Muslim
Meski demikian, Allah itu Mahabaik dan Mahaadil. Kebaikan dan keadilan Allah bisa dirasakan oleh orang yang beriman kepada-Nya atau yang tidak. Maka, Allah akan membalas kebaikan orang kafir dengan kebaikan di dunia.
Rasulullah bersabda,
إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنَ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِى الآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِى الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ »
“Sesungguhnya ketika non-muslim berbuat baik, maka dia akan diberi makanan di dunia karena kebaikan tersebut. Adapun orang yang beriman, Allah menyimpan kebaikan untuknya (dan diberikan) di akhirat serta memberinya rezeki di dunia atas ketaatannya.” (HR. Imam Muslim)
Menurut Imam al-Munawi dalam Fayd al-Qadîr, non-muslim yang berbuat baik dan perbuatan baik tersebut tidak butuh niat, seperti menyelamatkan orang yang tenggelam, maka Allah akan membalasnya di dunia. Allah akan memberinya rezeki melimpah, dijauhkan dari musibah, dimenangkan atas musuh, dan lain sebagainya.
Menurut Imam Nawawi, balasan Allah itu akan diberikan semuanya di dunia. Sehingga kelak di akhirat, orang kafir itu tidak mendapatkan balasan pahala. Maka, dia tetap akan masuk neraka.
Meski demikian, perbuatan baik tetaplah baik. Siapa pun yang melakukannya. Sebab, orang kafir yang jahat akan lebih pedih siksaannya dari pada orang kafir yang tidak jahat. Artinya, perbuatan baik itu tidak akan pernah merugikan.
Imam Qadi Iyad mengatakan, telah terjadi ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa perbuatan baiknya non-muslim tidak berpahala dan tidak meringankan siksa. Akan tetapi, siksaan orang kafir bisa berbeda-beda dahsyartnya. Tergantung perbuatan jahatnya.
Bahkan, Imam al-Baihaqi menegaskan dalam kitab al-Ba’tsu Wa an-Nusyûr, perbuatan baik non-muslim akan meringankan siksaannya di akhirat. Yakni, perbuatan baik non-muslim dapat menghapus dosa kejahatannya kecuali dosa kekufurannya.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga mengatakan dalam Fath al-Mubîn, perbuatan baik itu baik dan tidak akan merugikan sama sekali. Sebab, orang kafir yang melakukan kejahatan akan disiksa karena kekafiran dan kejahatannya. Sedang orang kafir yang tidak jahat, akan disiksa karena kekafirannya saja.
Jadi, husnuzon saya, apa yang dipesankan Gusdur di atas adalah intisari dari pendapat-pendapat ulama salaf. Tapi, Gusdur menyampaikannya dengan bahasa yang ringan. Sehingga bisa diterima oleh semua kalangan. Wallahu A’lam.
Untuk beliau, al-Fatihah!