al-ibar.net – Indonesia adalah negara demokrasi. Substansi negara demokrasi sendiri adalah terakomodirnya aspirasi rakyat kepada pemerintah. Sistem seperti ini yang membuat demokrasi banyak digunakan berbagai negara. Jika mengingat pendapat Abraham Lincoln yang menyatakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, sebuah konsep yang berpandangan berjalannya demokrasi merupakan representasi kehendak rakyat dan rakyat sendiri yang menjalankannya demi kepentingan rakyat.
Secara filosofis, sosiologis dan yuridisnya, Indonesia telah mendeskripsikan bahwa dirinya adalah negara yang demokrasi. Pemenuhan dasar terakomodir representasi dari rakyat, aspirasi setidaknya ada dua pokok penting, yakni adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan atau kebijakan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), kemudian adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan terhadap hak asasi warga negara.
Namun demikian, melihat kebijakan baru pemerintah tentang UU Omnibus Law, ternyata banyak menuai pro-kontra dari elemen mahasiswa, buruh dan masyarakat. Mulai dari proses penyusunan draf sampai dengan pembentukan peraturan perundangan-undangan yang dilakukan secara ugal-ugalan dan menunjukkan kesewenang-wenangan, termasuk adanya pelanggaran yang fatal dengan mengubah substansi materi muatan setelah persetujuan bersama antara presiden dan DPR pada tanggal 5 Oktober 2020.
Hal itu dapat dilihat pada draf RUU Cipta Kerja versi 1035 halaman dengan draf RUU Cipta Kerja versi 905 halaman, yang dapat dimaknai dengan bentuk penyelundupan muatan materi. Artinya, sudah jelas ada pelanggaran atas pembentukan UU Cipta Kerja yang dilakukan.
Selain itu, pembentukan UU juga telah melanggar asas pembentukan peraturan perundang-udangan yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan.
Kekecewaan rakyat dapat dipahami dengan adanya RUU Cipta Kerja ini, sehingga beberapa elemen mahasiswa dan buruh melakukan penolakan dengan demonstrasi di berbagai daerah hingga di Istana Negara dengan menuntut agar supaya presiden membatalkan UU tersebut dengan mengeluarkan Perppu,
Namun secara konstitusionalnya, RUU Cipta Kerja baru akan menjadi UU resmi saat sudah ditanda tangani presiden dan diundangkan dalam lembaran negara, atau jika presiden tidak menandatangani, secara konstitusional harus menunggu 30 hari sejak disetujui bersama oleh presiden dan DPR dalam sidang paripurna (5 Oktober 2020). Jadi bagaimana mungkin presiden mengeluarkan Perppu pembatalan UU Cipta Kerja sedangkan barangnya belum menjadi Undang Undang pada saat itu.?
Selain itu, jika melihat ekspektasi dan realita yang ditawarkan oleh UU ini, ternyata juga tidak sesuai harapan. Ekspektasi akan meningkatkan investasi yang berdampak pada terbukanya lapangan kerja sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan, nyatanya nihil.
Realitanya, investor asing masuk dengan syarat menggunakan tenaga kerja dari negaranya dengan alasan dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, sehingga tetap saja pengangguran tinggi dan tidak mensejahterahkan kehidupan rakyat.
UU Cipta Kerja terdiri dari 11 kluster, merubah 78 UU yang tentunya menyangkut banyak kepentingan warga negara yang dirugikan, bahkan pembentukannya sudah dilakukan secara kesewenang-wenangan tanpa mengikuti acuan pembentukan UU dalam UUD dan UU nomor 11 tahun 2012 sebagaimana diubah dengan UU nomor 15 tahun 2019, yang saluran untuk mengujinnya pada tingkat pertama dan terakhir ada di Mahkamah Konstitusi.
Karenanya, menandatangani UU ini sama saja menyetujui adanya pelanggaran pembentukan UU yang dilakukan pasca persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR saat paripurna kemarin (5 Oktober 2020).
Sebenarnya lebih baik jika presiden tidak menandatangani dan membiarkan RUU tersebut sah secara konstitusioal setelah 30 hari pasca persetujuan bersama tanggal 5 Oktober 2020 (04 November 2020). Karena apa yang dilakukan DPR pasca persetujuan bersama bisa saja dikatakan tanpa sepengetahuan presiden dan presiden tidak mau menandatangani atas adanya tindakan pelanggaran itu.
Mirisnya, UU Cipta Kerja ini akhirnya sah dengan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Maka jelas bahwa presiden menyetujui pelanggaran pembentukan UU Cipta Kerja Berdasarkan UUD NKRI 1945 dan UU nomor 11 tahun 2012 Jo UU nomor 15 tahun 2019. Jadi, siapa lagi yang bisa dipercaya dari wakil kita semua!? [.]