al-ibar.net – Sejak dulu, Rasulullah SAW sudah mengabarkan, sedikit demi sedikit Islam akan ditinggalkan. Islam akan lemah dan hanya menjadi bulan-bulanan. Sepertinya, apa yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW itu mulai kita rasakan saat ini. Di banyak negara, umat Islam tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Bahkan yang sangat ironi, umat Islam tidak mampu memerdekakan Palestina. Padahal, sering kita dengar bahwa setiap bangsa berhak merdeka, setiap individu bebas berekspresi dan lain sebagainya. Di negara yang penduduknya mayoritas muslim pun, belum tentu umat Islam memiliki kemampuan untuk menjadikan dirinya lebih bermartabat.
Ketidakberdayaan umat Islam ini terjadi di segala lini kehidupan. Mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal itu bisa kita lihat nyata dengan mata telanjang. Kondisi ini sepertinya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam lahir dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana ia lahir. Maka, beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Imam Qadhi Iyadh mencoba menjelaskan maksud hadis ini. Menurut beliau, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam Syarah Imam Muslim, dahulu Islam datang dan diikuti oleh segelintir orang. Lalu sedikit demi sedikit Islam menyebar dan menjadi kuat. Setelah itu, kekuatan Islam berkurang. Hingga akhirnya Islam hanya akan dipeluk oleh sedikit orang.
Menurut Imam al-Munawi, ada kemungkinan maksud hadis di atas tidak seperti yang diungkap oleh Imam Qadhi di atas. Menurut beliau, dulu Islam memang diikuti oleh segelintir orang. Karenanya, Islam sangat asing. Besok-besok Islam akan kembali asing tapi bukan karena pengikutnya yang sedikit. Islam kembali asing karena ajarannya tidak diamalkan meski pengikutnya sangat banyak.
Menurut Imam at-Thibi, yang dimaksud asing di sini bisa diartikan dua. Pertama umat Islam. Artinya, dulu umat Islam menjadi orang asing karena jumlahnya sedikit. Besok-besok akan kembali asing karena jumlahnya menjadi sedikit. Kedua, Islam. Artinya, saat baru didakwahkan, Islam asing karena pengikutnya sedikit. Besok-besok akan kembali asing karena pengikutnya sedikit. Menurut hemat penulis, perbedaan ini tidak terlalu memiliki konsekuensi dalam memahami hadis di atas.
Beruntunglah Orang-orang yang Asing
Hal yang sangat menarik dan menjadi titik penting dalam hadis di atas adalah kalimat keberuntungan bagi orang asing:
فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Beruntunglah bagi orang-orang yang asing.”
Seberapa lemahnya Islam atau seberapa tertindasnya Islam, ada segelintir umat Islam yang beruntung. Siapa mereka? Mereka adalah yang berani menjadi orang asing.
Imam al-Munawi dalam kitabnya Fayd al-Qadir menjelaskan, setidaknya ada tiga pengertian terkait “orang-orang asing” ini. Pertama, orang yang tetap berpegang teguh pada Islam dalam kondisi apa pun. Misalnya, pada awal-awal Islam didakwahkan, pengikutnya sedikit. Lalu disakiti dan dikucilkan. Umat Islam kala itu tetap memeluk Islam. Maka merekalah orang yang beruntung itu.
Pada suatu hari nanti, umat Islam menjadi lemah. Orang yang tetap memeluk Islam akan didiskriminasi dan dikucilkan. Memakai jilbab dilarang atau setidaknya dianggap ketinggalan zaman. Tapi, mereka tetap memeluk Islam dan menjalankan syariatnya. Maka merekalah orang-orang asing yang beruntung itu. Pendapat ini diungkapkan oleh Imam Ibnu Atsir.
Kedua, orang yang lari membawa agamanya. Jadi, saat orang-orang sudah meninggalkan Islam atau ajaran Islam, dia pergi menjauhi mereka. Dalam kesendirian, dia fokus mengerjakan ajaran Islam dengan sempurna. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ashabul Kahfi atau sahabat Muhajirin di zaman Rasulullah SAW. Mereka lari dari keluarga dan tanah airnya agar bisa memperjuangkan dan mengamalkan ajaran Islam di tempat lain.
Ketiga, orang yang berani memperbaiki Islam saat umat manusia merusaknya. Jadi, saat umat Islam dalam ketertindasan dan kemunduran, ada orang yang ingin memperbaikinya. maka orang itulah yang disebut “beruntunglah orang-orang asing” itu.
Misal, ekonomi umat Islam sedang terpuruk. Mereka berada dalam garis kemiskinan. Lalu bangkitlah seseorang yang ingin memajukan ekonomi umat Islam itu. Dia sendirian, tapi tidak membuatnya patah arang. Contoh lain, saat umat Islam tertinggal dan kalah di laga politik. Lalu ada seseorang yang tampil untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Dia sendirian dan cenderung mendapat cemoohan. Tapi, semua itu tidak membuatnya patah harapan. Maka dialah orang-orang asing yang beruntung.
Syekh al-Qardhawi, ulama kontemporer itu lebih condong pada pendapat yang ketiga ini. Menurut beliau dalam laman websitenya al-qaradawi.net, jika kita pahami dengan benar, hadis di atas mengabarkan bahwa dunia ini berputar. Islam pernah asing, kemudian menjadi agama yang kuat lalu asing lagi. Ketika Islam berada di posisi lemah, umat Islam harus bangkit karena orang yang beruntung adalah “orang yang berani memperbaiki ketika umat manusia merusaknya”.
Jadi, suatu saat Islam akan dianggap tidak keren. Namun, ada segelintir orang yang akan berpegang teguh kepadanya, mengamalkan ajarannya bahkan memperjuangkannya. Dialah ghuraba yang beruntung, yakni orang yang mendapat kebahagiaan di dunia sampai surga. Kita? Semoga saja!