al-Ibar.net – Bangsa kita kembali harus menelan kenyataan pahit tentang grafik demokrasi yang dari waktu ke waktu semakin merosot, bahkan sampai pada titik paling mengkhawatirkan. Hal itu ditandai dengan respon dan sikap penguasa kepada aktivitas “kritik” yang merespon kritik sebagai ujaran kebencian, di samping juga pengeritik yang kadang enggan atau takut untuk melakukan kritikan.
Aktivitas kritik dinilai membahayakan eksistensi penguasa, yang karenanya tidak boleh dibiarkan berkembang biak dengan bebas. Sebagai imbalannya, media dan organisasi diberangus dan dibungkam. Hal ini tentu saja berefek negatif kepada para kritikus sendiri. Puncaknya demokrasi menjadi korban.
Pada tulisan ini, penulis sama sekali tidak tertarik membahas lebih lanjut perang dingin antara penguasa dengan kritikus dalam urusan kritik atau kemerosotan grafik demokrasi. Penulis mencoba mengulas penawaran Hadratusy-Syekh KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus Pahlawan Nasional tentang sikap saling menghargai yang harus diketengahkan dalam berpikir, berpendapat, berdiskusi dan aktivitas serupa.
Dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunah wal Jamaah, KH. Hasyim Asyari menulis:
ثم كل قائل لا يكون مبتدعا عند القائل بمقابله لحكمه بما أداه اجتهاده الذي لا يجوز تعديه ولا يصح له القول ببطلان مقابله لقيام شبهته
“Kemudian setiap orang yang berpendapat bukan berarti menjadi ahli bidah menurut orang pendapat, karena dia menghukumi berdasarkan ijtihadnya yang tidak mungkin dikhianati . Dan dia tidak diperkenankan menuduh kebatilan pendapat seberang, karena dia mempunyai alasan.”
Agar menjadi jelas, redaksi di atas ditulis oleh KH. Hasyim sebagai titik temu antara dua mazhab dalam menyikapi kasus yang ditemukan berdasarksn hadis namun tidak pernah terekam bahwa hal itu dilakukan oleh ulama salaf (sahabat Nabi). Satu mazhab mengatakan kasus itu bidah karena menurut mereka hukum asli kasus itu adalah hurmah (haram), sedangkan mazhab satunya menyatakan bukan bidah karena menurut mereka hukum asli kasus itu adalah ibahah, boleh.
Jika kita cermati, ke dua mazhab ini tidak akan bertemu dalam sisi justifikasi hukum. Sebab, dalam menyikapi kasus di atas ke dua mazhab bersandar pada kaidah yang berseberangan. Sudah barang tentu mereka tidak akan dapat dipertemukan. Oleh karenanya, tawaran KH. Hasyim Asy’ari sangat pas dikemukakan. Mari kita runut.
Pertama, tawaran KH. Hasyim Asy’ari ini berlaku dalam fokus kasus furuiyah, cabang-cabang agama, bukan ushuliyah atau pokok-pokok agama. Furuiyah sendiri merupakan produk-produk hukum dan ajaran yang berlandaskan dalil-dalil zhani (prasangka), maka ia senyawa, sejalan dan selurus dengan kondisi dan realitas politik dan sosial. Hal ini berbeda dengan ushuliyah yang tidak menerima kritik dan pertanyaan, terkunci karena berlandaskan kepada dalil-dalil qhat’i (pasti).
Kedua, tawaran KH. Hasyim Asy’ari ini memainkan dan melibatkan kematangan psikologi para pemain di lapangan, yaitu pemain yang tolok ukur pemikiran dan argumentasinya berdasarkan obyektifitas. Kedewasaan dan kematangan para pemikir adalah bekal paling dasar.
Ketiga, tawaran KH. Hasyim Asy’ari akan efektif jika didukung oleh prasangka baik dan tidak ada perasaan paling benar sendiri. Tanpa dua perasaan ini, sangat tidak mungkin bahwa sikap saling menghargai akan terwujud. Tawaran KH. Hasyim Asy’ari ini didasarkan beberapa hadis, fi’li dan qauli.
ما تركته لكم فهو عفو
“Sesuatu yang saya tinggalkan untuk kalian adalah afwu, kemurahan.” (Usman bin Fauzi, Ihyā’us-Sunah wa Ikhmādul Bid’ah, 143).
لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة” فأدركهم العصر في الطريق فقال بعضهم : أمرنا بالعجلة ، وصلوا في الطريق . وقال آخرون : أمرنا بالصلاة هناك فأخروا . ولم يعب صلى الله عليه وسلم على واحد منهم .
“‘Janganlah salat Ashar salah satu kalian kecuali di Bani Quraizhah!” Lalu sahabat menemukan Ashar (sudah) masuk di tengah perjalanan. Lalu sebagian sahabat mengatakan: “Kita diperintah bersegera (menunaikan salat)” dan meraka pun salat di tengah perjalanan. Dan sebagian yang lain mengatakan: “Kita diperintah salat di sana (Bani Quraizhah).” Lalu mereka pun menunda (salat). Dan Rasulullah SAW tidak menyalahkan satupun dari mereka.” (HR. Al-Bukhari).
Memang, hadis pertama adalah dalil yang menjadi dasar mazhab yang mengatakan bahwa hukum asli kasus adalah ibahah, boleh. Akan tetapi, ketika diperhatikan lebih lanjut dan mendalam, kata afwun mengajarkan kita toleransi dan murah hati, tak terkecuali dalam permainan pemikiran dan silang pendapat. Artinya, masalah atau kasus yang dibiarkan tanpa hukum tertentu oleh syari’, maka ia menjadi pusat toleransi dan kemurahan hati, yaitu boleh dilakukan.
Sedangkan hadis kedua dengan tegas mengajarkan sikap menghargai. Sikap Rasulullah SAW yang mengamini dan tidak menyalahkan pilihan dua kelompok sahabat yang berbeda pandangan merupakan cermin menghargai dan apresiasi atas buah pemikiran dan pandangan. Secara tersirat, hadis kedua ini mengajarkan kita agar tidak ekstrem dalam memahami teks. Sebaliknya, ia bahkan menganjurkan kita untuk membuka pintu pada konteks sosial dan politik, guna mengambil peranannya dalam produksi hukum dan ajaran.
Mungkin anda bertanya, apa hubungan ulasan panjang lebar di atas dengan kasus kemerosotan grafik demokrasi, krisis apresiasi dan phobia akan kritik di tulisan pembuka? Hubungannya adalah alpa dan nihilnya sikap saling menghargai pemikiran dan pendapat, juga terkikisnya prasangka baik antar sesama.
Seharusnya, aktivitas kritik dipahami sebagai bentuk kepedulian tentang suatu tujuan yang ingin didapatkan bersama, dan dilihat sebagai langkah menemukan inovasi-inovasi dalam usaha mendapatkan tujuan bersama itu. Sikap tidak menghargai seperti ini tentu berbanding terbalik dengan sikap bijak Rasulullah SAW yang mengapresiasi dan menghargai ijtihad pemikiran sahabat-sahabatnya. Wallāhu A’lam.