al-Ibar.net – Manusia dilahirkan dengan membawa bakat masing-masing. Ada yang bakatnya sama, banyak juga yang memiliki bakat berbeda. Bahkan, yang dikatakan sama dalam bakat pun kadang juga tak sepenuhnya sama. Ada saja sisi-sisi ketidaksamaan di antara mereka.
Perbedaan bakat tentu tak perlu diperdebatkan. Itu semua adalah anugerah dari Allah Swt. yang harus disyukuri. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Mereka akan bisa meraih kesuksesan bilamana bergerak di bidangnya masing-masing (sesuai bakat, kemauan, dan kecenderungan).
Perbedaan bakat tersebut menjadikan kehidupan semakin berwarna. Ada yang jadi dokter, petani, insinyur, pedagang, bahkan pengajar agama (kiai, ustaz, dll.), dan lain sebagainya. Sebagian orang mungkin ada yang bertanya, “Dari sekian banyak profesi yang ada, manakah yang paling mulia menurut Allah?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita renungkan firman Allah Swt. berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)
Ayat di atas menegaskan bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah, baik di dunia maupun akhirat, adalah manusia yang paling taat kepada Allah Swt. (Lajnah Ulama Al-Azhar, 1995: 414)
Terbaca dengan jelas, bahwa ayat di atas sama sekali tidak menyebutkan atau membahas pekerjaan, perbuatan, atau gelar dan profesi tertentu. Yang disebut Allah hanyalah yang paling taat. Sekali lagi, taat. Bukan yang lain.
Sehingga, dari sini, dapat dipahami bahwa siapa saja, asal taat, berhak untuk menjadi manusia paling mulia di sisinya. Sebaliknya, satu pihak tertentu tak berhak mengklaim bahwa dirinya paling mulia di sisi-Nya dibanding pihak lain, bahkan orang yang taat sekali pun (tak ada orang taat kepada-Nya yang mengaku dirinya taat).
Urgensi Beragama
Urusan taat dalam menjalankan agama sama sekali tak ada hubungan dengan disiplin keilmuan tertentu, pekerjaan tertentu, atau gelar tertentu. Yang menguasai ilmu atau teori dalam agama Islam, misalnya, belum tentu dinilai taat oleh Allah bila mereka tak taat. Ini karena agama adalah praktik. Ada ungkapan, “Ilmu tanpa praktik (amal) bagai pohon tanpa buah”, bukan?
Ini juga bukan berarti bahwa kita tak perlu belajar ilmu agama. Belajar adalah juga bentuk dari ketaatan. Dan untuk beramal dengan baik, tentu kita harus paham terlebih dahulu tentang apa yang yang kita kerjakan.
Butuh Kerja Sama
Kehidupan ini adalah milik semua manusia. Semua memiliki peran dan saling mendukung satu sama lain. Keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupan tak bisa terwujud manakala hanya diisi oleh satu kelompok saja. Ambillah contoh, pembangunan masjid. Membangun masjid tak akan pernah berhasil bila hanya dikerjakan oleh pengajar agama. Butuh kerja sama banyak pihak, antara lain arsitek, donatur, ahli instalasi listrik, bahkan ahli politik (mengurus izin, bila perlu) agar masjid terbangun dengan megah.
Yang Penting Niatnya
Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari)
Lewat hadis ini, kita bisa memahami bahwa apa pun yang kita kerjakan akan dinilai baik oleh-Nya manakala didasari dengan niat yang lurus. Bahkan, meski itu adalah perbuatan atau pekerjaan yang secara zahir bersifat duniawi (makan, tidur, bekerja, dll).
Sebaliknya, perbuatan atau pekerjaan yang secara zahir bersifat ukhrawi (salat, puasa, zakat, dll.) tak akan mendapatkan balasan apa pun—bahkan bisa jadi dinilai buruk—manakala dilandasi oleh niat yang buruk.
Walhasil, siapa saja dan apa pun profesinya, asalkan taat, akan dinilai Allah sebagai manusia paling mulia. Predikat sebagai manusia mulia bukan monopoli para pengajar agama atau kelompok lainnya, namun milik semua orang. Semua bisa meraihnya. Mari berlomba-lomba dalam ketaatan!
Referensi:
Al-Azhar, Tim Lajnah Ulama. Al-Muntakhab Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jami’ Al-Shahih. Kairo: Dar al-Sya’b, 1987.