al-Ibar.net – Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Ia menjadi sumber hukum nomor wahid dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. itu. Sejauh ini, para ulama telah menuliskan banyak kitab tafsir Al-Qur’an dengan berbagai bahasa. Jumlah itu, belum ditambah oleh tafsir yang tidak tertulis dan hanya dijelaskan melalui kajian-kajian secara lisan.
Pertanyaan yang lantas muncul kemudian adalah mengapa tafsir Al-Qur’an bisa berbeda-beda, padahal Al-Qur’an-nya sama. Tulisannya ini akan membahas sebagian dari sekian banyak alasan yang ada.
Perbedaan Adalah Kehendak Allah
Perlu disadari bahwa tak ada manusia yang sama persis dengan yang lain, dalam banyak hal, antara lain selera makanan, kesukaan warna baju, definisi kebahagiaan, pandangan politik, dan lainnya. Perbedaan itu adalah sunatullah.
Lahirnya perbedaan itu dipengaruhi, antara lain, oleh latar belakang keluarga, lingkungan dan tingkat pengetahuan. Oleh karenanya, dari sini, menyamakan “banyak orang” dalam “banyak hal” adalah suatu yang mustahil.
Jika pun mereka sama, itu hanya meyangkut beberapa hal saja. Dan lagi-lagi, tidak ada yang sama persis. Misal, Si A sama dengan Si B dalam masalah makanan (dalam masalah ini, Si A tak sama dengan Si C). Si B sama dengan Si C dalam masalah warna baju (dalam masalah ini, Si B tak sama dengan Si A). Begitu seterusnya.
Sehingga dari sini, harus diakui bahwa perbedaan adalah hal wajar. Ia adalah sifat alami manusia yang tak perlu dibesar-besarkan. Yang harus dilakukan adalah bersikap dewasa dalam meresponnya.
Cara, Pengetahuan, dan Kecenderungan
Secara teknis, ada 4 macam cara yang biasa digunakan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an: tahlili (analisis), ijmali (global), maudlu’i (tematik), dan muqaran (komparasi). Belum lagi cara-cara yang muncul baru-baru ini, seperti hermeneutika dan maqashidi. Jika cara “memasak”-nya (baca: menafsirkan) saja berbeda, mana mungkin “masakan”-nya sama?
Di sisi lain, pengetahuan yang dimiliki seorang ulama juga sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Al-Qur’an. Untuk menyederhanakan, izinkan penulis mengibaratkan Al-Qur’an sebagai “daging ayam yang masih mentah” dan pengetahuan yang dimiliki calon penafsir sebagai “bumbu dapur”.
Akan dimasak menjadi apa daging tersebut, tergantung pada sang koki memiliki bumbu apa saja. Setelah melalui proses memasak, makanan yang terhidang pun akhirnya beragam: soto ayam, sate ayam, opor ayam, ayam goreng, dan lain-lain. Semua tergantung pada kemampuan masing-masing koki mengolahnya.
Belum lagi masalah kecenderungan. Jika sang koki suka asin, maka masakan yang dihasilkan pun cenderung asin. Jika sang koki suka manis, maka masakan olahannya akan cenderung manis. Begitu seterusnya.
Dalam kajian-kajian tafsir Al-Qur’an pun demikian. Ada sekian banyak kecenderungan (atau corak tafsir) dalam penafsiran Al-Qur’an: lughawi (kebahasaan), fikih (hukum), ilmi (pengetahuan/teknologi), sufi (tasawuf), dan lain-lain. Kecenderungan-kecenderungan itu akan nampak sekali pada tafsir yang mereka sajikan/sampaikan/tulis.
Pemahaman Terhadap Hadis
Para ulama menetapkan sekian banyak syarat yang hendaknya dikuasai oleh calon penafsir. Hal ini karena menafsirkan Al-Qur’an bukanlah perkara mudah. Ada sekian banyak hal teknis (baca: ilmiah) yang tentu hanya bisa diselesaikan oleh mereka yang memiliki kemampuan khusus.
Satu dari sekian banyak hal itu adalah pemahaman tentang hadis. Hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai penjelas Al-Qur’an. Sehingga tak mungkin pemahaman terhadap Al-Qur’an dapat dipisahkan dengan hadis.
Saat itu, ketika memiliki pertanyaan terkait hukum/Al-Qur’an, para sahabat langsung bertanya kepada nabi Muhammad saw. Ketika nabi wafat, mereka tak lagi memiliki tempat bertanya. Akhirnya, ketika menemukan masalah dan tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya lewat penjelasan nabi yang pernah mereka dengar.
Jika tidak juga menemukan jawaban, mereka akan bertanya kepada sahabat lain yang (mungkin) pernah diberi tahu nabi. Jika usaha itu tetap tidak berhasil, barulah mereka berijtihad untuk memahami dan mencari solusinya lewat pendapat mereka masing-masing.
Cara kerja seperti ini terus dilakukan hingga kini. Terkait hadis, saat ini permasalahan yang muncul semakin banyak: mana hadis yang sahih dan tidak, bagaimana cara memahami hadis tersebut, dan lain sebagainya. Dari sinilah, lahir berbagai pandangan ulama terkait tafsir Al-Qur’an.
Walhasil, perlu penulis tegaskan bahwa tiga alasan di atas hanyalah sebagian saja. Masih banyak alasan mengapa penafsiran Al-Qur’an begitu beragam (semisal qira’at, bahasa Arab, dan lain-lain).
Semua tafsir para ulama memiliki potensi benar asal dilakukan dengan cara-cara ilmiah. Jika pun ada yang dianggap keliru dari tafsir mereka, biarlah sesama ulama yang menyelesaikan. Sebagai orang awam, kita hanya perlu memilih mana tafsir ulama yang sesuai, tanpa harus menyalahkan tafsir ulama yang lain.