al-Ibar.net – Ikhlas mempunyai banyak cahaya dan kekuatan yang paling banyak dan paling berpengaruh dalam suatu amalan seorang hamba, terlebih dalam hal ubudiyah yang bersifat murni karena Allah. Pada masa sekarang bisa dikategorikan masa yang sulit bagi umat muslim yang semakin hari harus menghadapi tantangan perubahan zaman.
Ibadah terkadang butuh diperlihatkan pada manusia. Walau alasan utamanya adalah memotivasi orang lain agar ikut beribadah, tetapi ibadah haruslah murni karena Allah. Ibadah jangan sampai butuh pujian atau bahkan sekadar ingin pengakuan dari manusia. Dunia maya dan media berkembang melejit mendorong manusia akan eksistensi dan popularitas akan dirinya, bahkan tentang ibadahnya. Di sini ikhlas hadir untuk memperbaiki batin manusia.
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata ikhlas memiliki arti: bersih hati, tulus hati, dan kerelaan. Sedangkan dalam kaidah bahasa Arab, kata ikhlas berarti dari fi’il madhi khalasa yang bermakna mengosongkan sesuatu dan membersihkannya. Ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasa-yukhlisu-ikhlasan yang secara etimologi berarti yang tulus, yang
murni, yang jujur, yang jernih (shafa), dan yang bersih, atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu.
Menurut Yusuf Al-Qardhawy, Ikhlas menempati barisan pertama dibandingkan amal-amal hati yang lainnya, karena ikhlas merupakan salah satu kunci dari amal hati. Apabila kunci kesempurnaan amal hati tidak terlaksanakan dengan baik, maka amalan ikhlas pun akan bernilai sia-sia belaka. Firman Allah SWT:
ومن أحسن دينا ممن أسلم وجهه لله وهو محسن واتبع ملة إبراهيم حنيفا واتخذ الله إبراهيم خليلا
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An-Nisa, 125)
Adapun pendapat Sayyid Qutub mengenai ikhlas yaitu segala sesuatu yang menghubungkan hati seorang hamba dengan Tuhannya. Hamba yang senantiasa menjaga hubungannya dengan Tuhannya, fokus menghindari hal-hal yang menodai amalannya, dan merasa takut terhadap Tuhannya, serta menghilangkan rasa berharap kepada sesama manusia, maka dia akan mencapai sebuah keikhlasan yang hakiki.
Ditegaskan juga oleh Ibnu Taimiyah, orang bisa dikategorikan ikhlas apabila sang pelaku tidak lagi memedulikan pujian dari sesama manusia dan amalan yang telah dikerjakan tidak ingin diketahui oleh orang lain, karena hatinya senantiasa suci dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan tersebut.
Menurut Said Nursi, ada beberapa prinsip yang harus ditanamkan dalam masing-masing jiwa yang ingin mencapai dan memelihara keikhlasan dengan murni
- Jika beramal dan beribadah diniatkan hanya karena Allah. Rida Allah sajalah yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pengabdian di dunia ini.
- Tidak saling mengkritik, bersaing, dengki, dan mencari aib orang lain. Persatuan dan bekerja sama yang seharusnya tercipta dalam diri manusia yang selalu ingin menuju tempat kedamaian dan keselamatan dengan menguatkan rasa keikhlasan dalam dirinya.
- Menjauhi sifat ujub dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Tidak berambisi untuk mendapatkan pahala sendirian sehingga merasa dirinya yang pantas dalam menyampaikan persoalan agama.
- Meleburkan diri dengan yang lain (tafani), yakni melupakan perasaan nafsu dan menganggap keutamaan saudaranya sebagai miliknya. Sebab, landasan yang mengikat kita adalah persaudaraan yang hakiki, sesuai dengan manhaj kita.
Sarana Meraih Keikhlasan Menurut Said Nursi
- Rabithatul Maut (Mengingat Mati)
Salah satu hal yang dapat merusak keikhlasan yakni besarnya angan-angan yang membuat manusia lupa akan adanya alam akhirat. Manusia akan berhenti mengejar, mencintai dunia dan riya’ apabila telah mengingat sebuah kematian.
- Tafakkur Imani
Untuk bisa meraih keikhlasan dengan sempurna yakni melakukan tafakkur imani dengan cara merasa kehadiran Tuhan melalui kekuatan iman yang hakiki dan cahaya yang berasal dari tafakkur imani terhadap ciptaan Tuhan.
Betapa mulia seseorang yang hatinya dipenuhi keikhlasan. Mereka menjalani hari-hari dengan tujuan karena Allah. Tidak mengemis pujian manusia, juga tidak berkecil hati atas cibiran manusia. Karena sejatinya hidup yang kita jalani semua hanya untuk mengabdi pada Sang Khalik yang telah menciptakan manusia di dunia yang sifatnya hanya sementara.